Esai
Sub tema : Kritik
Pendidikan Dasar dan Menengah
Judul : Kurangnya
Moral Peserta Didik Pendidikan Dasar dan Menengah
Nama : As’ak Arif
Program Studi : Pendidikan Geografi
Kurangnya Moral
Peserta Didik Pendidikan Dasar dan Menengah
Kecerdasan generasi bangsa merupakan aset terbesar
bagi masa depan bangsa itu sendiri. Kecerdasan para generasinya dapat dibentuk
melalui sistem pendidikan yang diberlakukan bangsa tersebut, seperti ungkapan
apa yang ditanam itu yang akan dipanen. Maka sistem apa yang diterapkan suatu
bangsa, tepat maupun tidaknya akan menghasilkan generasi dimasa depan yang
sesuai dengan harapan dari diterapkannya sistem pendidikan tersebut. Tapi tak
dapat dipungkiri jika kenyataan pasti tak akan semulus impian.Begitu juga
dengan sistem pendidikan, pemerintah yang selalu berusaha memeperbarui sistem
pendidikannya demi mengikuti arus globalisasi masih saja terjadi penyelewengan
dimana-dimana, terutama terjadi pada peserta didik itu sendiri yang menjadi
objek utama dalam pendidikan. Kemorosotan moral peserta didik patut menjadi
perhatian utama pemerintah, karena moral berasal dari peserta didik pribadi,
sebaik apapun materi yang diberikan pemerintah untuk membangun generasi bangsa,
namun apabila generasinya bermoral buruk akan sangat mustahil para generasi
bangsa ini akan sama seperti yang diharapkan pemerintah.
Dalam terjadinya suatu peristiwa yang merugikan tidak
selamanya disebabkan oleh salah satu pihak, bahkan jika kita berfikir kedua
belah pihak yang bersangkutan pasti memiliki kesalahan dan menjadi penyebab
terjadinya peristiwa buruk. Sama halnya dengan peristiwa ini, kita tidak boleh
menyalahkan peserta didik saja, sistem
pendidikan sekolah yang dikelola oleh pemerintah, kurang menumbuhkan kesadaran
akan nilai-nilai luhur (aspek rohani) yang menjadi motor penggerak perkembangan
peserta didik ke arah hidup yang lebih manusiawi. Adanya kenakalan remaja,
tawuran antar pelajar, terlibatnya siswa dengan obat-obatan terlarang, minuman
keras, pergaulan bebas, dan sebagainya dinilai sebagai kegagalan pihak sekolah
dalam menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak ke dalam diri siswa. Itu berarti,
pendidikan agama yang dua jam, serta pendidikan moral dan pendidikan nilai
lainnya yang diberikan sekolah tersebut hampir tidak memberikan pengaruh
apa-apa pada diri peserta didik.
Selama ini, pendidikan agama di sekolah dirasakan
sebagai sesuatu keharusan belaka, bukan suatu yang diinginkan sebagai unsur
dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Seluruh jenis pendidikan pada
setiap jenjang pendidikan, kecuali pendidikan keagamaan, lebih mementingkan
aspek kognitif, sedangkan aspek afektif seperti kecerdasan emosional (Emotional
Quotien: EQ) dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value system) sangat
diterlantarkan. Padahal, menurut hasil penelitian Daniel Goleman menunjukkan
bahwa kecerdasan intelktual (Intellectual Quotien) : IQ) hanya berkontribusi
20% terhadap keberhasilan seseorang, sedangkan 80 % lagi ditentukan oleh
kecerdasan emotional (EQ). Bahkan menurut Ari Ginanjar Agustian IQ dan EQ saja
belum cukup untuk membuat seseorang benar-benar sukses dalam kehidupannya. Ada
nilai-nilai yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya yaitu kecerdasan
spiritual ( Spiritual Quotient : SQ). IQ memang penting yaitu agar manusia bisa
menciptakan dan memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan efektivitas. EQ juga
penting dalam membangun hubungan antar manusia sekaligus meningkatkan kinerja.
Namun tanpa SQ maka keberhasilan itu hanyalah akan menghasilkan “Hitler-Hitler
atau Firaun-Firaun “kecil di muka bumi.
Oleh karena itu, banyak peserta didik yang paham
tentang nilai-nilai keagamaan tetapi mengalami kesulitan untuk
mendemonstrasikan dalam perilaku sehari-hari yang merupakan cerminan dari apa
yang mereka ketahui secara kognitif tentang ajaran agama. Dari sini diperlukan
bimbingan dari pihak sekolah untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada maupun
membimbing dari awal untuk peserta didik tentang agama tersebut. Karena setiap
peserta didik memiliki latar belakang keluarga yang berbeda satu sama lain,
terutama dari segi agama, Mungkin ada yang dari kecil sudah sangat kuat ilmu
agamanya, maupun sebaliknya.
Agama
merupakan pondasi utama kehidupan. Dan memiliki kaitan erat dengan moral
masing-masing penganutnya. Agama apapun itu selalu mengajarkan umatnya untuk
memiliki moral yang baik. Dan karena sekolah dasar dan menengah memiliki
interaksi yang lama sekitar 9 jam per hari dengan peserta didik, maka sekolah dasar
dan menengah tentunya juga harus berperan dalam pendidikan moral siswanya.
.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang sebagai wujud kemorosotan moral di kalangan peserta
didik dasar dan menengah. Diantaranya adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini
:
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi
tragedi di dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan terhadap
Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka
hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian,
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dan juga sekolah sebagai rumah kedua peserta didik
Kedua, kurang
efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh sekolah, pembinaan moral di
sekolah memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya
sekolah dapat dijadikan sebagai lapangan untuk menumbuhkembangkan mental dan moral
anak didik, disamping ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan.
Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama di sekolah
harus dilakukan secara intensif agar ilmu dan amal dapat dirasakan anak didik
di sekolah.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistis,
hedonistis, dan sekularistis. Seperti banyak informasi yang kita ketahui
melalui beberapa media cetak atau elektronik (televisi) tentang anak-anak
sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat
terlarang, gambar-gambar dan video yang berbau porno, alat-alat kontrasepsi
seperti kondom, dan benda-benda tajam. Semua benda yang ditemukan tersebut
merupakan benda yang terindikasi atau ada kaitannya dengan penyimpangan moral
yang dilakukan oleh kalangan remaja usia sekolah dasar dan menengah. Gejala
penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar
kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu, dan tidak mengindahkan nilai-nilai
agama. Timbulnya sikap perbuatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya
arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekuleristis yang disalurkan melalui
tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, siaransiaran, pertunjukan-pertunjukan, film,
lagu-lagu, permainan-permainan, dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang
demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk
keuntungan material dengan memanfaatkan kecenderungan para peserta didik
pendidikan dasar dan menengah/remaja, tanpa memerhatikan dampaknya bagi
kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian disinyalir termasuk faktor
yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para peserta didik
pendidikan dasar dan menengah sebagai generasi tunas bangsa.
Langkah
awal yang bisa dilaksanakan untuk mengatasi rendahnya moral peserta didik
pendidikan dasar dan menengah yaitu penguatan ajaran agama masing-masing siswa.
Untuk yang muslim misalnya, diadakan kajian rutin yang sifatnya mewajibkan
setiap siswa muslimnya bisa dalam rentang waktu seminggu sekali maupun sebulan
sekali karena hal yang baik haruslah dipaksakan dahulu sampai dengan hal
tersebut bisa berubah dari suatu kewajiban menjadi kebutuhan. Begitu juga
dengan yang beragama Kristen, Katholik,
Hindu, Budha dan sebagainya, setiap siswa di wajibkan mengikuti acara keagamaan
yang rentangnya seminggu sekali maupun sebulan sekali agar bisa menjadi
kebutuhan rohani masing-masing peserta didik bukan lagi suatu paksaan.
Langkah kedua yang bisa dilaksanakan sekolah menengah
adalah diadakannya organisasi kerohanian, melalui organisasi tersebut akan
sangat membantu pihak sekolah dalam mensosialisasikan pembentukan moral agama
pada seluruh siswanya. Setiap anggota organisasi kerohanian sepatutnya juga
bisa membaur dengan teman-teman diluar organisasinya, karena dengan hal itu
misi utama akan tercapai.
Setelah pemberian materi dan organisasi kerohanian
perlu juga menjadikan suasana sekolah yang nyaman,tentram dan agamis. Bisa dengan langkah kecil, seperti menyapa guru maupun
sesama teman, saling mendukung dalam berprestasi, dan juga menerapkan perilaku
jujur dalam lingkungan sekolah. Pada dasarnya kepribadian seseorang dipengaruhi
juga dengan lingkungan pergaulannya, apabila memiliki pergaulan yang baik maka
pasti sedikit demi sedikit akan menjadi manusia yang lebih baik pula.
Langkah selanjutnya yang bisa dilaksanakan yaitu
pembuatan peraturan di lingkungan sekolah, peraturan disini bersifat mengikat
semua warga sekolah tanpa terkecuali karena aturan apapun itu pasti bersifat
membangun menjadi yang lebih baik. Dan juga pengawasan dan pemberian sanksi
kepada pelanggar aturan juga haruslah diadakan, agar seluruh warga sekolah yang
terikat aturan ada efek jera dan dengan sendirinya akan tersadar untuk
mengikuti segala peraturan yang ada.
Langlah-langkah tersebut akan berhasil apabila
terdapat komitmen seluruh komponen pendidikan dasar dan menengah, dari siswa,
guru maupun pemerintah yang berperan sebagai penentu kebijakan. Dengan langkah
tersebut moral siswa lama-kelamaan akan terbentuk menjadi lebih baik dan
apabila diiringi dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, untuk bisa
mengurangi angka kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, terlibatnya siswa
dengan obat-obatan terlarang, minuman keras, pergaulan bebas, dan sebagainya
akan sangat mudah.
Daftar Pustaka
Amrizal,MA . 2011 . Sekolah Versus Pesantren . Jurnal
Sosial Budaya. (8):117-118
Iskarim Mochamad . 2016 . Dekadensi Moral di Kalangan
Pelajar . Jurnal Edukasi Islamika . (1):4-8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar