Sabtu, 15 September 2018

Esai Kritik Pendidikan Dasar dan Menengah



Esai
Sub tema         : Kritik Pendidikan Dasar dan Menengah
Judul               : Kurangnya Moral Peserta Didik Pendidikan Dasar dan Menengah
Nama               : As’ak Arif
Program Studi : Pendidikan Geografi
 
     
 

Kurangnya Moral Peserta Didik Pendidikan Dasar dan Menengah

Kecerdasan generasi bangsa merupakan aset terbesar bagi masa depan bangsa itu sendiri. Kecerdasan para generasinya dapat dibentuk melalui sistem pendidikan yang diberlakukan bangsa tersebut, seperti ungkapan apa yang ditanam itu yang akan dipanen. Maka sistem apa yang diterapkan suatu bangsa, tepat maupun tidaknya akan menghasilkan generasi dimasa depan yang sesuai dengan harapan dari diterapkannya sistem pendidikan tersebut. Tapi tak dapat dipungkiri jika kenyataan pasti tak akan semulus impian.Begitu juga dengan sistem pendidikan, pemerintah yang selalu berusaha memeperbarui sistem pendidikannya demi mengikuti arus globalisasi masih saja terjadi penyelewengan dimana-dimana, terutama terjadi pada peserta didik itu sendiri yang menjadi objek utama dalam pendidikan. Kemorosotan moral peserta didik patut menjadi perhatian utama pemerintah, karena moral berasal dari peserta didik pribadi, sebaik apapun materi yang diberikan pemerintah untuk membangun generasi bangsa, namun apabila generasinya bermoral buruk akan sangat mustahil para generasi bangsa ini akan sama seperti yang diharapkan pemerintah.

Dalam terjadinya suatu peristiwa yang merugikan tidak selamanya disebabkan oleh salah satu pihak, bahkan jika kita berfikir kedua belah pihak yang bersangkutan pasti memiliki kesalahan dan menjadi penyebab terjadinya peristiwa buruk. Sama halnya dengan peristiwa ini, kita tidak boleh menyalahkan peserta didik saja,  sistem pendidikan sekolah yang dikelola oleh pemerintah, kurang menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek rohani) yang menjadi motor penggerak perkembangan peserta didik ke arah hidup yang lebih manusiawi. Adanya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, terlibatnya siswa dengan obat-obatan terlarang, minuman keras, pergaulan bebas, dan sebagainya dinilai sebagai kegagalan pihak sekolah dalam menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak ke dalam diri siswa. Itu berarti, pendidikan agama yang dua jam, serta pendidikan moral dan pendidikan nilai lainnya yang diberikan sekolah tersebut hampir tidak memberikan pengaruh apa-apa pada diri peserta didik.

Selama ini, pendidikan agama di sekolah dirasakan sebagai sesuatu keharusan belaka, bukan suatu yang diinginkan sebagai unsur dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Seluruh jenis pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, kecuali pendidikan keagamaan, lebih mementingkan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif seperti kecerdasan emosional (Emotional Quotien: EQ) dan aspek psikomotorik, serta sistem nilai (value system) sangat diterlantarkan. Padahal, menurut hasil penelitian Daniel Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan intelktual (Intellectual Quotien) : IQ) hanya berkontribusi 20% terhadap keberhasilan seseorang, sedangkan 80 % lagi ditentukan oleh kecerdasan emotional (EQ). Bahkan menurut Ari Ginanjar Agustian IQ dan EQ saja belum cukup untuk membuat seseorang benar-benar sukses dalam kehidupannya. Ada nilai-nilai yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya yaitu kecerdasan spiritual ( Spiritual Quotient : SQ). IQ memang penting yaitu agar manusia bisa menciptakan dan memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan efektivitas. EQ juga penting dalam membangun hubungan antar manusia sekaligus meningkatkan kinerja. Namun tanpa SQ maka keberhasilan itu hanyalah akan menghasilkan “Hitler-Hitler atau Firaun-Firaun “kecil di muka bumi.

Oleh karena itu, banyak peserta didik yang paham tentang nilai-nilai keagamaan tetapi mengalami kesulitan untuk mendemonstrasikan dalam perilaku sehari-hari yang merupakan cerminan dari apa yang mereka ketahui secara kognitif tentang ajaran agama. Dari sini diperlukan bimbingan dari pihak sekolah untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada maupun membimbing dari awal untuk peserta didik tentang agama tersebut. Karena setiap peserta didik memiliki latar belakang keluarga yang berbeda satu sama lain, terutama dari segi agama, Mungkin ada yang dari kecil sudah sangat kuat ilmu agamanya, maupun sebaliknya. 

            Agama merupakan pondasi utama kehidupan. Dan memiliki kaitan erat dengan moral masing-masing penganutnya. Agama apapun itu selalu mengajarkan umatnya untuk memiliki moral yang baik. Dan karena sekolah dasar dan menengah memiliki interaksi yang lama sekitar 9 jam per hari dengan peserta didik, maka sekolah dasar dan menengah tentunya juga harus berperan dalam pendidikan moral siswanya. 

            . Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang sebagai wujud kemorosotan moral di kalangan peserta didik dasar dan menengah. Diantaranya adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini :  
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi di dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan terhadap Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dan juga sekolah sebagai rumah kedua peserta didik
 Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh sekolah, pembinaan moral di sekolah memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya sekolah dapat dijadikan sebagai lapangan untuk menumbuhkembangkan mental dan moral anak didik, disamping ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama di sekolah harus dilakukan secara intensif agar ilmu dan amal dapat dirasakan anak didik di sekolah.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekularistis. Seperti banyak informasi yang kita ketahui melalui beberapa media cetak atau elektronik (televisi) tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat terlarang, gambar-gambar dan video yang berbau porno, alat-alat kontrasepsi seperti kondom, dan benda-benda tajam. Semua benda yang ditemukan tersebut merupakan benda yang terindikasi atau ada kaitannya dengan penyimpangan moral yang dilakukan oleh kalangan remaja usia sekolah dasar dan menengah. Gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu, dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap perbuatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya materialistis, hedonistis, dan sekuleristis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, siaransiaran, pertunjukan-pertunjukan, film, lagu-lagu, permainan-permainan, dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan kecenderungan para peserta didik pendidikan dasar dan menengah/remaja, tanpa memerhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian disinyalir termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para peserta didik pendidikan dasar dan menengah sebagai generasi tunas bangsa.

      Langkah awal yang bisa dilaksanakan untuk mengatasi rendahnya moral peserta didik pendidikan dasar dan menengah yaitu penguatan ajaran agama masing-masing siswa. Untuk yang muslim misalnya, diadakan kajian rutin yang sifatnya mewajibkan setiap siswa muslimnya bisa dalam rentang waktu seminggu sekali maupun sebulan sekali karena hal yang baik haruslah dipaksakan dahulu sampai dengan hal tersebut bisa berubah dari suatu kewajiban menjadi kebutuhan. Begitu juga dengan yang beragama Kristen,  Katholik, Hindu, Budha dan sebagainya, setiap siswa di wajibkan mengikuti acara keagamaan yang rentangnya seminggu sekali maupun sebulan sekali agar bisa menjadi kebutuhan rohani masing-masing peserta didik bukan lagi suatu paksaan.

Langkah kedua yang bisa dilaksanakan sekolah menengah adalah diadakannya organisasi kerohanian, melalui organisasi tersebut akan sangat membantu pihak sekolah dalam mensosialisasikan pembentukan moral agama pada seluruh siswanya. Setiap anggota organisasi kerohanian sepatutnya juga bisa membaur dengan teman-teman diluar organisasinya, karena dengan hal itu misi utama akan tercapai.

Setelah pemberian materi dan organisasi kerohanian perlu juga menjadikan suasana sekolah yang nyaman,tentram dan agamis. Bisa dengan  langkah kecil, seperti menyapa guru maupun sesama teman, saling mendukung dalam berprestasi, dan juga menerapkan perilaku jujur dalam lingkungan sekolah. Pada dasarnya kepribadian seseorang dipengaruhi juga dengan lingkungan pergaulannya, apabila memiliki pergaulan yang baik maka pasti sedikit demi sedikit akan menjadi manusia yang lebih baik pula.

Langkah selanjutnya yang bisa dilaksanakan yaitu pembuatan peraturan di lingkungan sekolah, peraturan disini bersifat mengikat semua warga sekolah tanpa terkecuali karena aturan apapun itu pasti bersifat membangun menjadi yang lebih baik. Dan juga pengawasan dan pemberian sanksi kepada pelanggar aturan juga haruslah diadakan, agar seluruh warga sekolah yang terikat aturan ada efek jera dan dengan sendirinya akan tersadar untuk mengikuti segala peraturan yang ada.

Langlah-langkah tersebut akan berhasil apabila terdapat komitmen seluruh komponen pendidikan dasar dan menengah, dari siswa, guru maupun pemerintah yang berperan sebagai penentu kebijakan. Dengan langkah tersebut moral siswa lama-kelamaan akan terbentuk menjadi lebih baik dan apabila diiringi dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, untuk bisa mengurangi angka kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, terlibatnya siswa dengan obat-obatan terlarang, minuman keras, pergaulan bebas, dan sebagainya akan sangat mudah.





Daftar Pustaka


Amrizal,MA . 2011 . Sekolah Versus Pesantren . Jurnal Sosial Budaya. (8):117-118

Iskarim Mochamad . 2016 . Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar . Jurnal Edukasi Islamika . (1):4-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar